Terjemahan Surat Al-Fatihah & Juz Amma Edisi Bahasa Indonesia
Juz `Amma adalah surat juz ke 30 dalam kitab suci Al-Quran. Di dalamnya terdapat 37 surat. Juz Amma ini dimulai dengan surat an-Naba¿ dan diakhiri surat An-Naas. Dalam Juz `Amma ini terdapat 34 surat yang berisikan surat yang paling sering kita dengar dan paling sering kita baca.





Semasa kita kecil dan pertama kali belajar membaca al-Qur-an kita sudah membaca dan menghafal surat-surat yang terdapat dalam Juz `Amma. Para imam mesjid juga ketika sholat berjamaah kebanyakan lebih sering membaca surat-surat pendek yang terdapat di dalam juz `Amma. Oleh karena itu, surat-surat Juz `Amma sudah terasa begitu akrab di telinga kita. Bahkan kita sudah hafal sebagian besar surat-surat tersebut di luar kepala.





Di samping itu di dalam Juz `Amma terdapat banyak surat yang memiliki keutamaan. Di antaranya adalah surat al-Ikhlash, al-Falaq, an-Naas dan lain-lain. Tentang surat al-Ikhlas misalnya, Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda:





¿Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya (surat al-Ikhlash) itu sebanding dengan sepertiga al-Qur¿an.¿ (HR. Al-Bukhari)





Dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan lain berkaitan dengan surat-surat dalam Juz `Amma diantaranya :





1. Surat Al Kautsar mencegah permusuhan,


2. Surat Al kafirun mencegah kufur di waktu sakarotul maut,


3. Surat Al Ikhlas mencegah perbuatan nifaq (plin-plan),


4. Surat Al Falaq mencegah kedengkian orang hasud,


5. Surat An Nas mencegah dari was-was





Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai beberapa keutamaan surat Juz `Amma dalam al-Qur`an. Marilah kita selalu rajin membaca al-Qur`an dan memahami isi yang terkandung di dalamnya agar kita selalu diberikan petunjuk oleh Allah SWT, sebagaimana sabda nabi:





¿Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur-an, akan mendapatkan suatu kebaikan. Sedang satu kebaikan akan dilipatkan sepuluh kali lipat. Aku tidak berkata, Alif laam miim, satu huruf. akan tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf. (HR. At-Tirmidzi )





Juz Amma from The Noble Quran with english and arabic languange for children.The Quran Holy literally meaning "the recitation"; also romanized Qur'an or Koran is the central religious text of Islam, which Muslims believe to be a revelation from Allah SWT (God) It is widely regarded as the finest work in classical Arabic literature. The Quran is divided into chapters (surah in Arabic), which are then divided into verses (ayah).





Muslims believe that the Quran was verbally revealed by God to Muhammad through the angel Gabriel (Jibril), gradually over a period of approximately 23 years, beginning on 22 December 609 CE, when Prophet Muhammad SAW was 40, and concluding in 632, the year of his death. Muslims regard the Quran as the most important miracle of Prophet Muhammad SAW, a proof of his prophethood, and the culmination of a series of divine messages that started with the messages revealed to Prophet Adam (Pbuh) and ended with Prophet Muhammad SAW.
1301704156
Terjemahan Surat Al-Fatihah & Juz Amma Edisi Bahasa Indonesia
Juz `Amma adalah surat juz ke 30 dalam kitab suci Al-Quran. Di dalamnya terdapat 37 surat. Juz Amma ini dimulai dengan surat an-Naba¿ dan diakhiri surat An-Naas. Dalam Juz `Amma ini terdapat 34 surat yang berisikan surat yang paling sering kita dengar dan paling sering kita baca.





Semasa kita kecil dan pertama kali belajar membaca al-Qur-an kita sudah membaca dan menghafal surat-surat yang terdapat dalam Juz `Amma. Para imam mesjid juga ketika sholat berjamaah kebanyakan lebih sering membaca surat-surat pendek yang terdapat di dalam juz `Amma. Oleh karena itu, surat-surat Juz `Amma sudah terasa begitu akrab di telinga kita. Bahkan kita sudah hafal sebagian besar surat-surat tersebut di luar kepala.





Di samping itu di dalam Juz `Amma terdapat banyak surat yang memiliki keutamaan. Di antaranya adalah surat al-Ikhlash, al-Falaq, an-Naas dan lain-lain. Tentang surat al-Ikhlas misalnya, Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda:





¿Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya (surat al-Ikhlash) itu sebanding dengan sepertiga al-Qur¿an.¿ (HR. Al-Bukhari)





Dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan lain berkaitan dengan surat-surat dalam Juz `Amma diantaranya :





1. Surat Al Kautsar mencegah permusuhan,


2. Surat Al kafirun mencegah kufur di waktu sakarotul maut,


3. Surat Al Ikhlas mencegah perbuatan nifaq (plin-plan),


4. Surat Al Falaq mencegah kedengkian orang hasud,


5. Surat An Nas mencegah dari was-was





Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai beberapa keutamaan surat Juz `Amma dalam al-Qur`an. Marilah kita selalu rajin membaca al-Qur`an dan memahami isi yang terkandung di dalamnya agar kita selalu diberikan petunjuk oleh Allah SWT, sebagaimana sabda nabi:





¿Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur-an, akan mendapatkan suatu kebaikan. Sedang satu kebaikan akan dilipatkan sepuluh kali lipat. Aku tidak berkata, Alif laam miim, satu huruf. akan tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf. (HR. At-Tirmidzi )





Juz Amma from The Noble Quran with english and arabic languange for children.The Quran Holy literally meaning "the recitation"; also romanized Qur'an or Koran is the central religious text of Islam, which Muslims believe to be a revelation from Allah SWT (God) It is widely regarded as the finest work in classical Arabic literature. The Quran is divided into chapters (surah in Arabic), which are then divided into verses (ayah).





Muslims believe that the Quran was verbally revealed by God to Muhammad through the angel Gabriel (Jibril), gradually over a period of approximately 23 years, beginning on 22 December 609 CE, when Prophet Muhammad SAW was 40, and concluding in 632, the year of his death. Muslims regard the Quran as the most important miracle of Prophet Muhammad SAW, a proof of his prophethood, and the culmination of a series of divine messages that started with the messages revealed to Prophet Adam (Pbuh) and ended with Prophet Muhammad SAW.
4.99 In Stock
Terjemahan Surat Al-Fatihah & Juz Amma Edisi Bahasa Indonesia

Terjemahan Surat Al-Fatihah & Juz Amma Edisi Bahasa Indonesia

by Linda C. Shields

Narrated by Muhammad Ibnu Adam

Unabridged — 2 hours, 7 minutes

Terjemahan Surat Al-Fatihah & Juz Amma Edisi Bahasa Indonesia

Terjemahan Surat Al-Fatihah & Juz Amma Edisi Bahasa Indonesia

by Linda C. Shields

Narrated by Muhammad Ibnu Adam

Unabridged — 2 hours, 7 minutes

Audiobook (Digital)

$4.99
FREE With a B&N Audiobooks Subscription | Cancel Anytime
$0.00

Free with a B&N Audiobooks Subscription | Cancel Anytime

START FREE TRIAL

Already Subscribed? 

Sign in to Your BN.com Account


Listen on the free Barnes & Noble NOOK app


Related collections and offers

FREE

with a B&N Audiobooks Subscription

Or Pay $4.99

Overview

Juz `Amma adalah surat juz ke 30 dalam kitab suci Al-Quran. Di dalamnya terdapat 37 surat. Juz Amma ini dimulai dengan surat an-Naba¿ dan diakhiri surat An-Naas. Dalam Juz `Amma ini terdapat 34 surat yang berisikan surat yang paling sering kita dengar dan paling sering kita baca.





Semasa kita kecil dan pertama kali belajar membaca al-Qur-an kita sudah membaca dan menghafal surat-surat yang terdapat dalam Juz `Amma. Para imam mesjid juga ketika sholat berjamaah kebanyakan lebih sering membaca surat-surat pendek yang terdapat di dalam juz `Amma. Oleh karena itu, surat-surat Juz `Amma sudah terasa begitu akrab di telinga kita. Bahkan kita sudah hafal sebagian besar surat-surat tersebut di luar kepala.





Di samping itu di dalam Juz `Amma terdapat banyak surat yang memiliki keutamaan. Di antaranya adalah surat al-Ikhlash, al-Falaq, an-Naas dan lain-lain. Tentang surat al-Ikhlas misalnya, Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda:





¿Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya (surat al-Ikhlash) itu sebanding dengan sepertiga al-Qur¿an.¿ (HR. Al-Bukhari)





Dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan lain berkaitan dengan surat-surat dalam Juz `Amma diantaranya :





1. Surat Al Kautsar mencegah permusuhan,


2. Surat Al kafirun mencegah kufur di waktu sakarotul maut,


3. Surat Al Ikhlas mencegah perbuatan nifaq (plin-plan),


4. Surat Al Falaq mencegah kedengkian orang hasud,


5. Surat An Nas mencegah dari was-was





Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai beberapa keutamaan surat Juz `Amma dalam al-Qur`an. Marilah kita selalu rajin membaca al-Qur`an dan memahami isi yang terkandung di dalamnya agar kita selalu diberikan petunjuk oleh Allah SWT, sebagaimana sabda nabi:





¿Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur-an, akan mendapatkan suatu kebaikan. Sedang satu kebaikan akan dilipatkan sepuluh kali lipat. Aku tidak berkata, Alif laam miim, satu huruf. akan tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf. (HR. At-Tirmidzi )





Juz Amma from The Noble Quran with english and arabic languange for children.The Quran Holy literally meaning "the recitation"; also romanized Qur'an or Koran is the central religious text of Islam, which Muslims believe to be a revelation from Allah SWT (God) It is widely regarded as the finest work in classical Arabic literature. The Quran is divided into chapters (surah in Arabic), which are then divided into verses (ayah).





Muslims believe that the Quran was verbally revealed by God to Muhammad through the angel Gabriel (Jibril), gradually over a period of approximately 23 years, beginning on 22 December 609 CE, when Prophet Muhammad SAW was 40, and concluding in 632, the year of his death. Muslims regard the Quran as the most important miracle of Prophet Muhammad SAW, a proof of his prophethood, and the culmination of a series of divine messages that started with the messages revealed to Prophet Adam (Pbuh) and ended with Prophet Muhammad SAW.

Product Details

BN ID: 2940169886016
Publisher: Harlequin Love Inspired
Publication date: 01/12/2018
Edition description: Unabridged
Language: Malay

Read an Excerpt

Los vestidos de una dama


By Alonso Cueto

Barcelona Digital Editions, S.L.

Copyright © 1987 Alonso Cueto
All rights reserved.
ISBN: 978-1-4804-9153-3



CHAPTER 1

La total liberación


Los sueños con frecuencia se pierden en el túnel blanco del pasado, disueltos por el polvo grueso que es el olvido. Sin embargo, Garassa recuerda ese sueño, lo tiene delante de él, como si se escenificara repetidas veces con la misma nitidez. En el sueño, él llega a una casa de campo, acompañado por una silueta sin rostro. La casa está rodeada de yerba oscura, de arbustos pálidos y frondosos; una luz fosforescente baña una de las paredes, se pierde en las tejas rojizas más arriba. Mientras se acerca a la casa, ve una sombra azul en el balcón: es la sombra de Onetti, el gran escritor, los anteojos glaciales y los ojos inflamados y la mano moviéndose con una energía inusual, eufórica, saludando a Garassa que le contesta también con la mano en alto.

Cuando Onetti desaparece del balcón, Garassa y su acompañante tocan la puerta y entran a la sala. Está en medio de objetos antiguos, lámparas, cuadros, una alfombra de colores desteñidos y un espejo grande, con marco dorado. Una mujer de pelo rojo baja por la escalera de alfombra gris y se sienta a hablar con ellos, compartiendo recuerdos de amigos comunes. Mientras hablan, todos esperan que baje Onetti. El escritor va a bajar, todos están sentados mirando la escalera. Pero solo las gradas vacías les contestan. El sueño de Onetti o el recuerdo del sueño es esta espera de un sofá sin llenar, unas gradas que no suenan, esa espera de alguien inminente que, sin embargo, nunca viene, y también, la sombra violenta del escritor en el balcón, levantando la mano: la inspiración, el modelo, la búsqueda.

Garassa había preservado estas imágenes y las había vuelto a ver delante de él, a plena luz del día, en la oficina del periódico, mientras hablaba sobre algún asunto de trabajo. Las había conservado a lo largo de sus años en Lima, a lo largo de su vida en el centro de una ciudad a la que amaba y de la cual se sentía parte. Trabajaba en la página editorial de un diario y en sus tiempos libres, escribía una novela corta. Escribía con constancia, haciendo uso de todo el tiempo que encontraba.

Cuando su libro apareció, algunas reseñas entusiastas lo celebraron. Fue entonces cuando Garassa renunció a su puesto y se entregó por entero a su segundo libro. Todo estaba listo ahora. Tenía cuarenta años, algunas rentas y pocos familiares. Contaba con mucho tiempo libre y tal vez veinte o treinta años de vida. Era dueño de una casa en Miraflores, de maderas viejas pintadas de blanco. El aire de mar lo recibía por las mañanas y lo acompañaba todo el día, con su lejano, fresco rumor.

Su segunda novela renovó la atención de los críticos y luego de unos meses se publicó en España. Poco después, tras un noviazgo corto, el escritor se casó con Lisa, una mujer de cuerpo delgado y ojos vivos que comprendió en silencio, durante unas pocas horas, los enigmas de esa naturaleza reservada. Durante el noviazgo habían decidido no tener hijos y llevar una vida de aislamiento y trabajo. Ella seguiría haciendo sus traducciones para compañías locales. Él seguiría escribiendo. Ahora, de vez en cuando, se apartaba de la privacidad de la literatura para colaborar con algunos artículos en su antiguo periódico. Los vaivenes de la fama ya le eran favorables. Una noche le mostró a Lisa unas flores amarillas, altas y rectas, que había plantado en el jardín de la entrada. Desde entonces ella las regó con frecuencia. Lo hacía en los crepúsculos, antes de entrar a la casa para compartir la soledad y el afecto que su marido le ofrecía como una compensación por haber renunciado, en nombre de él, al mundo. Esa felicidad privada, pensaba Lisa con frecuencia, se basaba en un culto secreto y compartido por la belleza. Escuchaban música juntos, se leían páginas queridas de Leopardi, Yeats y Byron, salían a la carretera a ver la serranía, cocinaban algunos platos preferidos.

En 1975 Garassa y su mujer lograron viajar a distintos lugares de Europa y luego se quedaron a vivir dos años en Londres. Su fama había crecido, pero él vivía por su cuenta, de espaldas a los ruidos. Una noche, poco después de su retorno, Lisa comprendió por esas caminatas veloces de su esposo que algo había ocurrido. A pesar de los elogios, a pesar de la admiración que llovía sobre él, Garassa se estaba infligiendo un dolor terrible a sí mismo, un dolor que él insistía en multiplicar. Y esa expresión no cambió cuando un día publicó su éxito más grande, una novela sobre la historia de una traición, una mujer que se va con otro hombre y le confiesa la verdad a su esposo.

—No hay nada en la novela que valga la pena por sí mismo —dijo a un periodista—. La he publicado como un homenaje a un gran escritor. Hay un cuento de Juan Carlos Onetti, un cuento de tres páginas que se llama «La total liberación». Durante todos estos años he estado viviendo en este cuento, he estado viviendo en cada una de sus palabras para escribir las páginas que usted conoce y que han salido de esas frases en voz baja, de esa escena única y de ese largo monólogo que es el cuento de Onetti. Allí puede usted encontrar todo lo que en mis novelas he escrito. No he creado nada por mí mismo. Mi obra carece de todos los méritos, excepto tal vez de una redacción correcta. Es muy poco. No soy sino un repetidor original. Cuando leo a Onetti, soy un mendigo que agradece tener un pan que nunca va a acabarse. Él es el verdadero autor de mis libros. Se lo digo para sacarme un peso de encima, para que no vuelva a pedirme cuentas.

El periodista apagó la grabadora y se fue con una sonrisa. Al día siguiente se había organizado el minucioso escándalo. Garassa se acusaba de ser un plagiario, de no haber escrito nada importante. Se descubrió poco después que el pequeño cuento de Onetti había aparecido en un periódico argentino de la década de los treinta, luego en un libro de tapas de papel negro que se vendía en los supermercados. «Allí está todo lo que yo he escrito», había dicho Garassa. Las burlas se difundieron. Era una pendiente que seguía su curso. Garassa miraba impasible el ruido de insectos, el carnaval de malas palabras, de risas por lo bajo, que desde entonces se celebró, allí afuera, en torno a su nombre.

Desde su nueva casa en Chaclacayo, Garassa recibía como a través de un vidrio lo que decían sobre él. Alguien descubrió un artículo de unos pocos años antes en el que Garassa decía, algo en broma, que no admiraba a muchos hombres. Con la misma seguridad con la que se había construido su fama, la gente empezó a olvidarlo, a desmerecer sus libros, a relegarlos junto con su nombre al fondo de los estantes.

Pero Garassa sabía que solo a través de esa confesión podía aspirar a encontrar el lenguaje que estaba escrito dentro de él. La purificación de la verdad lo llevaría a sus propias palabras. Él no podía estar sentado, esperando a Onetti, al modelo. Tenía que pararse de esa silla y darle respetuosamente la espalda. La modesta arrogancia que todo escritor requiere había tardado en llegar. No podría seguir siendo un imitador. Tenía que purgar su pena. La prisión de las injurias era necesaria. Cuando saliera, podría escribir de acuerdo a sí mismo.

Luego de recibir sus pagos por una novela, Garassa vendió su casa de Miraflores y decidió retirarse definitivamente a escribir en Chaclacayo. Pasaba los días en su nuevo escritorio, rodeado de retratos de escritores, leyendo viejas historias de aventuras y redactando algunas líneas. Después de los últimos sucesos creía haberse apartado del mundo exterior pero no había calculado las consecuencias: su mujer había cambiado, igual que él. Ella había leído el cuento de Onetti y luego otra vez sus novelas, y había descubierto la verdad. En cada una de las novelas de Garassa se ocultaba eso que brillaba en el cuento de Onetti: el cabello largo de Isabel, la caminata de Jason, las lampas con las que se entierra el recuerdo. Ella había comprendido que esa historia vagaba siempre por las de su marido y alcanzó a entender el significado de su traición. La vergüenza se compensaba, sin embargo, con la admiración por su coraje. Se sintió cerca de él. Durante varias semanas se acostaba a su lado por las noches, sin mirarlo, sin decir palabra. Él pensó en un gran escritor que llevaba dentro de sí, a quien nadie conocía; pensó también en su mujer y en los ojos con los que ella lo evadía, con los que le confirmaba que su carrera, su destino, habían sido en realidad una trampa, un plagio, una traición. Comprendió que vivía entre esas paredes arrinconado por el bochorno que no era el de los de afuera sino el suyo propio. Su vergüenza lo erosionaba.

Una noche Garassa le dijo a su mujer que a su edad ambos podrían empezar a vivir otra vez en esa sencilla casa, bajo el sol tibio, en el silencio del jardín junto al río, en esas líneas, en esas breves frases que podría ir creando. Cada mañana muy temprano, bajo una luz pálida y una ventana silenciosa, él estaba empezando a crear una vida nueva. Estaba escribiendo algo diferente. Una mañana ella se acercó. Sus ojos azules lo miraron, amenazados por las arrugas. Se inclinó hacia él, apoyándose suavemente contra uno de sus brazos. Garassa pensó que tal vez esa escena también era un sueño y que jamás iba a olvidarla. Las líneas grabadas en un papel lo acercaban, una por una, con la rectitud y la disciplina de tantos años, a eso que buscaba, que seguiría buscando. Garassa se apartó de Lisa y volvió al escritorio. Ella lo siguió con la mirada. Trabajó con una felicidad incomparable. Al cabo de un año publicó una novela corta de la que nadie habló.

CHAPTER 2

La otra


I


—Le presento a Miss Marion Philips —me dijo el profesor Hann una mañana mientras ella me sonreía y ambos nos estrechábamos la mano por primera vez. La presencia de esta joven a la que estaba conociendo fue como una revelación instantánea. El aire de señorita empezaba en su pelo corto y amarrado, seguía en su chaleco azul y terminaba en unos zapatos de taco, negros y resplandecientes contra la alfombra de la oficina. El recato, el buen humor, la simpatía, eran en apariencia los principales ingredientes de esa fórmula que activaba su sonrisa y me preguntaba con interés sobre mi reciente adaptación a la ciudad.

Después de un rato comprendí que había también una sombra de inseguridad en esa hermosa cara. Una suerte común nos había unido: la de ser los assistant professors que los demás miembros del Spanish Department de Chicago iban a juzgar y aprobar (o no) durante los siguientes cuatro años. Ella era de Virginia y especialista en poesía española del Siglo de Oro. Yo, aprovechando mi origen, me hacía pasar por un experto en literatura latinoamericana, y un conocedor mediano de su historia y su cultura. Así pensaba ganarme la vida; y además el trabajo tenía su importancia.

Ya había cumplido veintinueve años. Me consideraba un joven educado, inteligente, feliz, y trataba de demostrarlo en cuanto se presentaba la ocasión. Chicago, donde había empezado a vivir, era un universo infinito y tentador, en el cual todos mis deseos iban a encontrar un desahogo variado. Pero en esas primeras semanas, arrinconado por mi condición de extranjero, me pareció lógico buscar la compañía de la otra persona que había llegado a la misma ciudad, en las mismas condiciones. Y allí estaba la señorita Marion Philips, con quien intercambiaba algunas frases previsibles, mientras me miraba de frente con su rostro suave y dulce, en los corredores de la universidad.

—Me habían hablado de usted —le dije, después de un breve intercambio de frases iniciales—. Tal vez podamos vernos alguna vez.

Me había decidido a cultivar su compañía, a pesar de esa formalidad, algo cómica, con la que me seguía saludando.

—Creo que voy a comer algo —dije al día siguiente, metiendo la cabeza en su oficina—. ¿Quieres venir conmigo?

Asintió con una sonrisa y salimos juntos, por el patio de arbustos. Ella caminaba a mi lado, con el pelo cubriéndole parte de la cara. Sus pasos eran lentos y firmes, y me sujetaba con sus grandes ojos azules, mientras yo le informaba de mis primeras impresiones de Chicago. Esa fue, ahora que lo pienso, nuestra primera cita.

O tal vez en aquel tiempo sería más exacto decir que fue solo un primer encuentro de amigos. Porque en Marion había algo que me impedía verla como una futura novia. Cuando la conocí bien y cuando llegué a intimar con ella, su belleza, su simpatía, su inteligencia, su gracia, me parecieron virtudes domésticas, cualidades propias del tipo de gente que yo conocía demasiado bien. No había nada en su conducta hacia mí que pudiera abrir de pronto el vacío y la necesidad en las que una verdadera atracción puede estimularse. Era muy sana, muy buena, muy en sus cabales, y esas eran para mí cualidades de madre, de hermana o de compañera de trabajo.

Desde los primeros meses mis encuentros con otras mujeres, en los bares de la ciudad, me compensaban por esa medianía virtuosa, asexuada, que durante los días de la semana compartía a veces con ella. Así pues, salíamos a comer, paseábamos, íbamos al cine, pero yo siempre prefería volver a los bares donde encontraba a las mismas mujeres que me recibían con la boca roja y húmeda, dispuestas a celebrar mi soltería con unos hombros desnudos que terminaban en el abismo de un escote. Con frecuencia yo le contaba a Marion de mis encuentros con esas mujeres y ella se mostraba curiosa y divertida. «Estás totalmente loco —me repetía con frecuencia—. Si el chairman lo supiera ...»

—Te aseguro que hace lo mismo —me reía yo—. Es un soltero, a carta cabal.

—No puedes seguir así, siempre solo —me dijo una noche—. Tienes que buscarte a alguien a quien puedas darle ese cariño que tienes escondido detrás de tus gestos de cínico.

Así pasó un año, y luego otro. Yo sostuve un romance breve con una alumna de otro departamento. Esta relación felizmente fue tomada con buen humor o con indiferencia por los demás profesores de la facultad. Otros problemas mucho más serios parecían anunciarse. Tanto Marion como yo éramos candidatos a los puestos de associate professor que la universidad programaba, pero ya había corrido el rumor de que, por razones presupuestarias, estos puestos iban a escasear en los próximos años y que el decano otorgaría solo uno de ellos. Así pues, circunstancias tan azarosas como las que nos habían reunido, podían hacernos competir ahora por la gloria precaria pero nada desdeñable de obtener un trabajo permanente en la universidad. Casi nunca hablábamos del asunto y nuestros almuerzos de hermanos cómplices, nuestras bromas en el corredor, nuestras conversaciones de café sobre poetas y novelistas admirados, nunca se cruzaron con la extraña sensación de estar compitiendo por una posición sobre la que algunos hombres mayores y solemnes iban a decidir en los siguientes meses. Más que mi rival, Marion era la persona a quien confiaba los secretos de mi rutina, cosas de las que no hablaba con nadie más por esos días.

Y todo hubiera seguido así, despreocupadamente, de no haber tocado mi puerta una noche el chairman, con una botella de vino y una malévola y eufórica noticia entre manos. Aún recuerdo los ojos satisfechos, las mejillas infladas y la voz brusca de ese hombre que se había sentado delante de mí, apretando un cigarrillo.

—Voy a ser franco con usted —dijo.

El hombre estaba obviamente orgulloso del privilegio de una franqueza que emanaba de su pasajera autoridad.

—Usted va a ser elegido por el departamento como candidato para el puesto —siguió—. No todos piensan que es mejor que la señorita Philips, pero la mayor parte de la gente, incluyéndome, cree que sí.

El chairman, que movía sus bigotes espesos como los de una morsa sonriente, se acercó a uno de los vasos que yo había dejado cerca de él, y lo llenó.

—El problema ahora es que ella no lo sepa —continuó, después de dar un sorbo—. Si ella se entera, puede mover la influencia de la única amiga que tiene en el comité, la de Jennifer Zegler, y esa señora podría pasar un voto en contra de su candidatura. Además, como supongo que ya sabe, usted no le es muy simpático a esa mujer.

—¿Y qué quiere que haga para evitar que ella se entere? —balbuceé, elevando también mi vaso.

—No se lo diga, simplemente —me ordenó.

—¿Y para qué ha venido a contármelo?

—Solo quería darle una buena noticia —concluyó.

Tal vez el rango, las frases directas o el aspecto robusto de aquel hombre, me obligaban al silencio. Era evidente que su decisión de favorecerme venía de alguna razón que no tenía que ver solamente con su interés por mi trabajo.

—Bueno, y ahora me retiro. Felicitaciones. Es un placer tenerlo en el plantel de la facultad —se despidió—. Solo falta que lo apruebe el decano.


(Continues...)

Excerpted from Los vestidos de una dama by Alonso Cueto. Copyright © 1987 Alonso Cueto. Excerpted by permission of Barcelona Digital Editions, S.L..
All rights reserved. No part of this excerpt may be reproduced or reprinted without permission in writing from the publisher.
Excerpts are provided by Dial-A-Book Inc. solely for the personal use of visitors to this web site.

From the B&N Reads Blog

Customer Reviews